Peran Wasit, untuk Sepakbola yang Lebih Baik

 

 

aid39982-v4-728px-Understand-Soccer-Referee-Signals-Step-2-Version-2.jpg

Kredit: wikihow.com

 

Terobosan yang dilakukan oleh PSSI perihal regulasi untuk mewajibkan klub Liga 1 memainkan 3 pemain U-23, minimal 45 menit tiap pertandingan, mulai menunjukkan hal yang positif. Beberapa bakat muda mulai bermunculan.

Meski sempat menuai pro-kontra, toh, pada akhirnya klub harus mematuhi regulasi tersebut. Jika di awal kompetisi klub-klub terkesan memainkan pemain U-23 untuk sekadar mengikuti aturan, perlahan namun pasti, pemain-pemain muda justru mulai unjuk gigih dan menjadi andalan di klub masing-masing.

Nama-nama seperti Evan Dimas Darmono, Febri Hariyadi, maupun Hansamu Yama Pranata yang sejak musim sebelumnya dianggap sebagai bintang muda berbakat, kini mulai mendapat banyak pesaing. Berkat regulasi yang mengharuskan klub memainkan pemain U-23, penikmat sepakbola Tanah Air saat ini mulai dimanjakan oleh permainan ciamik dari bintang-bintang muda baru semisal: Billy Keraf, Dedik Setiawan, Rezaldi Hehanusa, Henhen Herdiana, Prisca Womsiwor, Fahmi Al Ayyubi, M. Arfan, hingga Reva Adi Utama. Tak heran jika para pelatih sudah tidak segan memberi menit bermain yang lebih (PSSI mewajibkan pemain U-23 dimainkan minimal 45 menit) untuk pemain mudanya karena performa apiknya.

Berikut 10 besar pemain U-23 yang mendapat menit bermain terbanyak (Data: topskor.id).

  1. Rudolf Yanto Basna (Sriwijaya FC), 540 menit, 6 pertandingan.
  2. Rezaldi Hehanusa (Persija Jakarta), 539 menit, 6 pertandingan.
  3. Zaenuri (Perseru Serui), 532 menit, 6 pertandingan.
  4. Terens Puhiri (Pusamania Borneo), 494 menit, 6 pertandingan.
  5. Reva Adi Utama (PSM Makassar), 476 menit, 6 pertandingan.
  6. Septian David Maulana (Mitra Kukar), 450 menit, 5 pertandingan.
  7. Ardhi Yuniar (Persiba Balikpapan), 450 menit, 5 pertandingan.
  8. Yabes Roni (Bali United), 437 menit, 5 pertandingan.
  9. Guntur Cahyo (PS. TNI), 413 menit, 6 pertandingan
  10. Henhen Herdiana (Persib Bandung), 390 menit, 6 pertandingan.

Tentu hal ini menjadi kabar baik bagi masa depan Timnas Indonesia, sebab, stok pemain muda kian bertambah. Apa yang dicita-citakan oleh PSSI saat mengumumkan regulasi tentang pemain U-23, memang telah menampakkan hasil. Namun, ada hal yang harus menjadi perhatian khusus bagi PSSI maupun penyelenggara pertandingan: Kinerja wasit.

Wasit berperan penting untuk perkembangan pemain muda

Meski regulasi telah mewajibkan tiap klub menurunkan pemain U-23, tetapi, hal tersebut sama sekali bukan jaminan bagi para pemain muda untuk bisa berleha-leha. Toh, mereka juga harus bersaing dengan sesama pemain muda lainnya untuk mendapat kepercayaan bermain. Kita juga tak boleh menutup mata pada realita masih banyak pemain senior yang kerap mencibir para pemain muda yang diuntungkan oleh regulasi.

Setelah “berdarah-darah” di latihan untuk mendapatkan jatah bermain, para pemain muda tersebut harus menerima kenyataan jika wasit di Indonesia masih kerap “masuk angin”. Bukankah banyaknya wasit yang kontroversial juga dapat memengaruhi mental pemain muda ini?

Kita bisa melihat dalam beberapa kejadian Febri Hariyadi harus mendapatkan perlakuan keras menjurus kasar yang tak jarang dianggap hal yang biasa oleh wasit. Tak heran jika kita bisa melihat Febri melakukan respon yang agresif. Beruntung sejauh ini Febri memiliki mental yang kuat. Lalu, bagaimana dengan pemain muda lainnya? Bisa saja pemain muda lain yang mengalami kejadian sama dengan Febri, tak memiliki mental sekuat pemain Persib Bandung itu, dan berujung si pemain jadi penakut lalu tak lagi mendapat kepercayaan bermain.

Wasit sejatinya memiliki peran besar untuk membentuk karakter para pemain muda. Bukannya mengajarkan untuk jadi pemain yang cengeng, tetapi sebagai aset bangsa, pemain-pemain tersebut butuh dilindungi baik dari fisik maupun psikis. Kita semua tentu tak berharap para pemain muda Indonesia tumbuh jadi pemain yang tukang protes wasit serta senang melanggar aturan.

Hingga memasuki pekan ke-6, PSSI telah menjatuhkan sanksi untuk 18 wasit dan asisten wasit yang memimpin Liga 1 maupun Liga 2. Catatan tersebut sangat disayangkan mengingat Liga Indonesia baru bergulir selama enam pekan. Semangat untuk menghasilkan bibit pesepakbola handal baru yang dicanangkan PSSI lewat regulasi kewajiban memainkan pemain U-23, sungguh tak sejalan dengan performa para pengadil di lapangan. Para wasit tak sadar bahwa mereka adalah salah satu unsur penting demi terciptanya wajah sepakbola Indonesia yang lebih baik.

Peran Komisi Disiplin (Komdis) PSSI juga amat diharapkan mampu memberikan edukasi bagi para pemain muda. Selama ini Komdis terlalu terpaku pada sanksi materil yang membuat stigma penikmat bola Tanah Air: Komdis tak ubahnya tukang palak. Tak ayal jika kelak, kasus para pemain muda seperti yang dilakukan Abduh Lestaluhu, Manahati Lestusen, dan M. Zaenuri akan terus berlanjut dan menimpa pemain muda lainnya. Sebab selama ini, denda yang dijatuhkan pada pemain (biasanya) dibayar oleh klub.

PSSI maupun Komdis harus mulai memikirkan sanksi lain yang lebih memberi efek jera. Pemain sebesar Eric Cantona pernah mendapat hukuman 8 bulan larangan bermain, serta diwajibkan melakukan kerja sosial selama masa hukumannya akibat menendang suporter lawan. Hukuman seperti ini pun patut dipertimbangkan oleh PSSI tinimbang terus mengumbar sanksi berupa uang. Selain itu, kita juga berharap para pengadil di lapangan mampu menunjukkan itikad baik untuk sama-sama memajukan sepakbola Indonesia dengan cara menjunjung tinggi rule of the game yang sudah diatur. Sebab, wasit merupakan jembatan terciptanya kualitas liga dan pemain untuk sebuah negara.

 

 

 


Tulisan ini juga dimuat oleh: football-tribe.com

Sang Legenda yang Terpinggirkan

 

syamsul_chaerudin.jpg

Syamsul Haeruddin saat masih berseragam Timnas Indonesia. (Kredit: Goal.com)

 

Dalam kurun waktu 2004—2010, Syamsul Bahri Haeruddin, selalu menjadi alasan untuk anak-anak muda di Makassar, memutuskan untuk berkarir di sepakbola. Legenda hidup PSM Makassar itu, sukses menjadi mood boster pelecut semangat berlatih bagi bocah-bocah SSB di Makassar, untuk bisa menyamai prestasinya.

Syamsul menjadi anomali di barisan tengah Timnas Indonesia yang banyak diisi pemain bertipe stylish, sejak kemunculannya pada Piala Asia 2004 di Cina. Gaya bermainnya yang spartan dan terus berlari sepanjang pertandingan, membuat Ivan Kolev (pelatih Indonesia saat itu) kepincut pada pria kelahiran Kabupaten Gowa tersebut.

Jika kita lebih saksama menyimak pertandingan Indonesia vs Qatar di Piala Asia 2004, Syamsul menjadi sosok kunci yang membuat permainan Qatar sulit berkembang. Hal yang turut pula diakui oleh Philip Throussier (pelatih Qatar) saat mengomentari kekalahan timnya (2-1) yang sekaligus menjadi kemenangan pertama Indonesia sejak ikut serta di Piala Asia. Dengan ciri khasnya yang ngotot dalam berduel, sukses membuat gelandang-gelandang Qatar tak berkutik.

 

bambang-pamungkas

Selebrasi Bambang Pamungkas & Syamsul Haeruddin, saat Indonesia menghadapi Bahrain di Piala Asia 2007. (Kredit: Kaskus)

Tahun 2007 menjadi era keemasan pemain yang kini berusia 34 tahun itu di Timnas Indonesia. Saat itu, bersama dengan Vietnam, Thailand, dan Malaysia, Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah Piala Asia 2007. Kala hegemoni sepakbola Indonesia sedang meningkat, tokoh kita ini berhasil menampilkan performa apiknya. Bila Anda menyaksikan laga kedua Indonesia kontra Arab Saudi, tentu Anda bisa melihat sendiri bagaimana aksi Syamsul saat mematahkan serangan lawan, kemudian berduel dengan empat orang sekaligus pemain Arab sebelum mengirim umpan yang berhasil dikonversi menjadi gol oleh Ellie Aiboy.

***

Hingga pekan ke-5 Liga 1, Syamsul belum juga mendapatkan kesempatan bermain di PSM. Berbeda dengan kompatriotnya di Piala Asia 2007 seperti, Ponaryo Astaman, Eka Ramdani, Ismed Sofyan, ataupun Bambang Pamungkas yang masih mendapat menit bermain dari tim masing-masing.

Permainan pemain yang akrab disapa Ancu ini, belumlah bisa dikatakan habis. Saat kedatangannya musim lalu, Robert Rene Albert sempat mengomentari permainan anak asuhnya ini. Menurut Robert, Syamsul pemain yang bagus. Lebih lanjut lagi Robert berharap Syamsul bisa lebih efisien menggunakan tenaganya. Hal tersebut bisa kita lihat pada pemain yang satu tipe dengan Syamsul, Hariono. Pemain jangkar Persib Bandung itu, kini tampil lebih kalem dan efisien dalam bergerak.

Sulit memang rasanya jika kita berharap untuk melihat pemain yang identik dengan rambut gondrong itu, tampil reguler bersama PSM. Meskipun Robert selalu mengutak-atik lini tengahnya, tak sekalipun pemilik nomor punggung 8 di PSM itu diberi kesempatan bermain. Hadirnya duo Belanda, Wiljan Pluim dan Marc Klok di lini tengah PSM, menjadi salah satu faktor dicadangkannya Syamsul. Belum lagi ada nama besar lain seperti Rizky Pellu dan Rasyid Bakri. Kesempatan sebenarnya terbuka bagi Syamsul, saat Rasyid Bakri harus menepi akibat cedera lutut. Sayangnya performa apik dari Asnawi Mangkualam dan M. Arfan, membuat Robert kembali pikir-pikir untuk menurunkannya.

Peran lain Syamsul

Jika kita lebih awas melihat kebijakan dari Robert Rene Albert, ada peran lain yang diberikan sang meneer untuk pemain yang juga akrab dipanggil Daeng Sila ini. Meskipun tak pernah diturunkan, Syamsul selalu diikutkan tiap laga tandang PSM sejauh ini. Kehadiran sang legenda hidup di pinggir lapangan, membuat pemain PSM yang didominasi oleh putra daerah semakin termotivasi dalam bertanding.

Bagaimana pun Syamsul kadung menjadi panutan baik di dalam maupun di luar lapangan oleh para pemain muda PSM Makassar. Bahkan, tak berlebihan jika menyebut Syamsul adalah pemain terpopuler yang lahir dari Tanah Sulawesi-Selatan, selain Ramang.

Tentu saja Syamsul juga berharap mendapat kesempatan bermain musim ini. Namun, jika melihat performa pemain tengah PSM yang mampu membawa tim Juku Eja memimpin klasemen, sulit rasanya untuk dapat melihat aksinya.  Namun, main atau tidak, Syamsul telah menempati ruang tersendiri di hati penggemar PSM. Tak salah jika kelak PSM Makassar menjadi juara di Liga 1, pemain yang paling layak mengangkat piala pertama kali adalah Syamsul Bahri Haeruddin.

 

 


Tulisan ini juga dimuat oleh: football-tribe.com

 

Dependensi PSM pada Pluim

 

pt-lib-sahkan-status-wiljan-pluim-sebagai-marquee-player_m_123307.jpeg

Kredit: jawapos.com

 

Jika PSM diibaratkan sebagai seorang cendikiawan, maka, Wiljan Pluim adalah sebuah buku.

Sepanjang hayatnya, hanya ada dua malam dia tidak membaca buku: malam ketika ayahnya wafat dan malam pernikahannya.

Begitulah Ibnu ‘Arabi berkisah tentang “mentornya”, Ibnu Rushd. Kalimat tersebut termaktub di dalam buku Mencari Belerang Merah yang dianggit oleh Claude de Addas.

Apa yang dijelaskan oleh Ibnu ‘Arabi, dengan gamblang menggambarkan ketergantungan seorang filsuf besar, Ibnu Rushd, pada sebuah buku—untuk menghasilkan pemikiran-pemikirannya.

Fragmen ketergantungan Ibnu Rushd akan bacaan, juga terlihat pada tim, PSM Makassar. Dependensi—ketergantungan—pada Wiljan Pluim, masih terlihat hingga laga terakhirnya di kandang Mitra Kukar.

Sejak mengawali debutnya bersama PSM, di kandang Persela (02/09/2016), dalam lanjutan TSC 2016, Pluim nyaris tak pernah absen dari daftar starting eleven, PSM Makassar. Secepat kilat, tim Juku Eja langsung berada di papan atas klasemen. Padahal, sebelumnya (putaran pertama) PSM harus megap-megap di zona degradasi. Wiljan Pluim seakan menjadi Zeus (raja para dewa dalam mitologi Yunani) yang mengubah Ayam Jantan Dari Timur, menjadi tim yang menakutkan.

Kemampuan mengolah bola, umpan yang mematikan, serta visi bermain yang cerdas, sukses membuat pemain yang mengawali karir di Vitesse Arnhem tersebut, menjadi roh permainan PSM. Alur dan tempo permainan Juku Eja, sangat bergantung di kaki pemain asal Zwoole, Belanda, ini.

Wiljan Pluim termasuk pemain yang unik. Jika biasanya pemain jangkung terkesan kaku, tidak demikian dengan pria bertinggi 190 cm ini. Dia mampu mempertontonkan skill-nya saat mengecoh dua hingga tiga orang pemain lawan. Bahkan oleh komentator di TV, ia dijuluki ballerina yang menari di tengah lapangan. Tak heran jika di pertandingan PSM melawan Mitra Kukar, pemain sekaliber Mohammed Sissoko, harus pontang-panting merebut bola dari Wiljan Pluim.

***

Memasuki musim kedua di PSM, peran pria kelahiran, 4 Januari 1989 ini, masih terlihat vital. Gerbong pemain bintang yang masuk ke PSM, tak menggoyahkan status Wiljan Pluim sebagai nyawa permainan. Disokong oleh segudang gelandang pekerja, mulai dari, Rasyid Bakri, Rizki Pellu, Syamsul Haeruddin, M. Arfan, Asnawi Mangkualam hingga Marc Klok, membuat Pluim semakin nyaman memainkan perannya sebagai pengatur irama permainan.

Tanpa mengecilkan gelandang lain di Indonesia, tak berlebihan jika kita menyebutkan bahwa: Wiljan Pluim, adalah gelandang dambaan tiap penyerang di Indonesia. Maka, siapapun penyerangnya, tak sulit untuk mencetak gol jika dimanjakan oleh umpan-umpan Wiljan Pluim.

Lalu, bagaimana jika Wiljan Pluim harus absen?

Melihat tingginya intensitas pertadingan di Liga 1. Sudah sewajarnya jika coach Robert Rene Albert, mulai memikirkan solusi saat Pluim harus absen. Kemampuan individu Pluim, yang di atas rata-rata, membuat pemain lawan tak jarang harus bermain keras untuk menghentikannya. Selain itu, faktor kelelahan saat terus-menerus dimainkan, membuat pemain yang telah membukukan satu gol ini, rentan terkena cedera. Beruntung, kondisi Wiljan Pluim hingga saat ini, masih prima.

Ketergantungan PSM pada Pluim, juga mengingatkan kita pada sosok Sang Proklamator, Ir. Soekarno, saat ditahan di penjara Banceuy, Bandung. Begitu bergantungnya Bung Karno pada buku, membuat istrinya kala itu, Inggit Garnasih, harus menyuplai buku secara ilegal, dengan jalan disembunyikan di dalam stagennya, saat mengunjungi sang suami di penjara. Bukan tanpa sebab, pihak pemerintah Hindia-Belanda, sadar betul jika, Soekarno dan buku adalah sebuah ancaman bagi mereka. Terbukti, buku-buku hasil selundupan Inggit, mampu membuat Bung Karno, menelurkan sebuah pledoi yang amat menggemparkan kala itu, Indonesia Menggugat. Sebuah pledoi yang tak hanya menampar pihak pemerintah Hindia-Belanda, namun juga, membuat Bung Karno semakin lama di penjara.

PSM harus belajar pada kisah Arsenal. Bagaimana tim asal London tersebut, sangat bergantung pada sosok Alexis Sanchez. Hal yang membuat sang profesor, Arsene Wenger, mati-kutu saat Sanchez harus menepi karena cedera. Tak ayal jika sedini mungkin, jajaran kepelatihan PSM, menyiapkan waktu istirahat yang tepat, agar Wiljan Pluim terus bugar dan tampil konsisten.

Seperti yang dikatakan oleh, Karl Marx: Bahaya dari ketergantungan akan membuat terhambatnya perkembangan.

 


Tulisan ini juga dimuat oleh: football-tribe.com